Ini adalah kisah dua orang ibu, katakanlah dua keluarga dimana saya datang setiap hari untuk merawat mereka. Ini adalah pekerjaan saya, dan saya tahu setiap hari selalu sama. Tapi ada hal yang untuk saya tidak selalu sama dan ini sangat menarik, yaitu Percakapan dengan mereka. Salah satu dari mereka, seorang ibu tua renta, berumur 85 tahun. Fisik dan mental masih bisa dibilang normal, tidak pikun, namun masih terlihat kerentaan di raut wajahnya. Dia mempunya seorang anak perempuan yang sudah lama meninggalkan dia, karena hidup bersama suaminya. Kehidupan seorang ibu ini menurut ceritanya adalah kehidupan yang membosankan. Setiap hari bangun pagi, disambut dengan seorang perawat yang datang untuk menyiapakan sarapan paginya, mengurusi kebutuhan hidupnya, dan membantunya untuk membersihkan badannya. Dia selalu berkata: ''kehidupan saya teralu monoton, anak saya sudah melupakan saya, dan saya hidup sendiri, sebatang kara. Uang yang datang setiap bulan tidak bisa saya nikmati, karena kondisi saya yang sudah tidak mampu lagi untuk membawa saya untuk menikmatinya. Saya menyesal, kenapa dulu sewaktu saya masih muda, laki-laki saya anggap tidak penting dalam hidup saya''. Hmmm, saya tercengang, berpura-pura tidak mengerti apa maksud dibalik penyesalan itu. Saya sering mengalihkan pembicaraan apabila dia mulai menceritakan kehidupannya yang menyedihkan itu. Saya berusaha agar dia bisa tersenyum dan tertawa. Tapi saya mulai yakin, dia membutuhkan seseorang untuk bercerita, mencurahkan keluh kesahnya, berbagi cerita tentang hidupnya. Saya senang, dan saya selalu siap menjadi pendengar yang baik. Saya menyukai semua pasien-pasien saya, tak perduli bagaimana kondisi fisik dan mentalnya. Dan ibu ini adalah salah satu pasien yang sering dan hampir setiap saya dinas dia selalu ada di Pasien List saya.
Kembali pada kisah tentang penyesalannya, dia mulai menceritakan mengapa dia merana hidup sendiri. Sewaktu dia masih muda, dia adalah wanita cantik tak kurang satu apapun dalam hidupnya. Diantara teman-temannya waktu itu, dia bisa dibilang wanita yang suka pilih-pilih dalam mencari pasangan hidup. Maka dari itu siapa yang mencoba ingin mendekatinya tak pernah awet menjalin hubungan cinta dengannya. Apakah yang salah? Terlalu pilih-pilih, itulah pengakuan darinya. Laki-laki yang datang dan pergi hanya melihat bahwa dia cantik, namun setelah mereka tahu siapa dia dan apa yang dia cari dari seorang laki-laki membuat mereka takut dan menghilang begitu saja. Kadang-kadang mereka pergi tanpa pesan. Tapi baginya ini bukan hal yang menyedihkan, karena dia punya prinsip, pergi satu datang seribu. Dan prinsip ini tetap selalu dipegang olehnya, sampai dia berumur 50 Tahun. Dia memiliki seorang anak perempuan yang dia peroleh dari hubungan pertamanya dengan seorang laki-laki semasa dia masih di SMA. Bapak dari anak kandungnya pergi meninggalkan dia dengan perempuan lain, dan mulailah dia membangun kehidupanya bersama anaknya. Dan kini anaknya sudah menikah dan mempunyai keluarga sendiri, melupakan ibunya, dan terbenam dengan pekerjaannya.
Dengan usianya yang 50 Tahun, dia merasa dirinya sudah tua. Hidupnya sudah mulai tak menentu. Kecantikannya lambat laun mulai berkurang. Mulailah dia mencari pasangan hidup, dari waktu ke waktu. Masih saja prinsip yang dulu belum juga hilang, masih tetap dia bersikeras mencari yang terbaik. Yang terbaik, dan yang lebih baik lagi. Dia mulai berfikir, ada apa dengan dirinya, mengapa laki-laki tidak mau menjalin hubungan yang serius dengannya? Pertanyaan itu terus mengiringi langkah hidupnya, sampai usianya menginjak 60 tahun. Dia sudah mulai sakit-sakitan. Dia sudah lelah, hidunya membosankan. Akhirnya dia mengambil suatu keputusan untuk tidak mencari lagi. Dia pasrahkan pada Tuhan, apa yang Dia berikan padanya dia akan terima, itu janjinya.
Hari berganti hari, dengan umurnya yang semakin menua, datanglah seorang laki-laki ingin menyuntingnya. Laki-laki yang baik yang selalu setia mendampinginya kapanpun dan dimanapun dia berada. Hari-harinya terasa indah bersama laki-laki itu. Dia merasa penyakitnya semakin parah, Laki-laki itu masih dengan sabarnya membina rumah tangga yang harmonis dengannya, merawatnya dikala dia sakit dan memanjakannya setiap hari. Namun Egonya takmembiarkan semua berlangsung lama. Ketidakpuasan masih merongrong hatinya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri, karena dia merasa ada yang kurang dari laki-laki itu. Yaitu Materi! Oh my God...benarkah apa yang dikatakannya? Ya benar, dia masih membutuhkan laki-laki yang ber-uang, yang mau memberikan segalanya untuk dia. Dia menginginkan laki-laki yang bisa membuat semuanya mudah. Dan itu tidak ada dikriteria laki-laki itu. Pada saat itulah, pertengkaran mulai ada, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Laki-laki itu pergi tanpa membawa apapun yang ada dirumah perempuan itu. Kini dia sendiri, menjalani hidupnya seperti kemauannya. Hidup tanpa laki-laki. Semua berlangsung cukup lama. Usianya telah menginjak 70 tahun dan dia tetap sendiri, tiada pendamping. Anaknyapun kadang-kadang saja datang hanya untuk mengantar makanan atau belanjaan lalu pergi lagi. Dia mulai sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hari-harinya dilalui dengan duduk didepan TV dan membaca surat kabar. Setiap kali datang mobil Ambulan menjemputnya untuk pergi ke Rumah Sakit apabila penyakitnya kambuh. Setiap pagi hari datang seorang perawat menyiapkan makan pagi dan menyediakan obatnya. Begitulah seterusnya kehidupan yang dilaluinya. Sampai saat inipun, dia masih juga sendiri. Apa yang bisa dilakukan dengan usia yang sudah 85 tahun?
Saya mengambil banyak hikmah dalam setiap percakapan kami setiap pagi. Saya berpikir, memang benar, apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini. Kesenangan dan duniawi bukanlah ukuran untuk kebahagiaan hidup. Mungkin kita akan merasakan sendiri apabila kita sudah berusia renta. Banyak sekali pasien saya, yang sudah tua dan hidup sendiri, jangankan jalan-jalan, untuk mengganti popoknya saja harus menunggu petugas Home Care yang datang. Astaga...mudah-mudahan kita tidak termasuk manusia yang merugi, karena penyesalan yang selalu diutarakan itu tidak ada gunanya lagi. Dia hanya seorang yang hanya bisa memberikan petuah, jangan sampai nasib saya seperti dia. Tapi saya sangat menyayangi pasien saya seperti yang sudah saya ungkapkan diatas. Saya adalah pengganti anaknya, walau hanya sebagai pendengar setia, pengganti anaknya yang sudah jarang menemuinya. Saya ikut merasakan dan kadang-kadang membayangkan, beginikah masa tua tanpa seorang partner? Bisakah ini dikatakan suatu dampak suatu kepribadian yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada? Dia selalu berpesan kepada saya. Dalam pesannya dia selalu berkata ''Cintailah dan terimalah kekurangan suamimu seumur hidupmu, niscaya kamu tidak akan pernah merasa sendiri dan sepi dimasa nanti''. Hmmmm....saya merasa terharu. Saya menganggap dia seperti ibu saya sendiri, karena diapun seorang ibu, dan tiada salahnya menyayangi seseorang seperti dia, walaupun dia bukan ibu saya. Karena pada dasarnya, sayapun tidak mempunyai orang tua lagi.
Kisah ibu yang kedua. Pasien saya yang sudah berumur 87 tahun, tinggal dengan suaminya yang usianya 7 tahun lebih muda darinya. Mereka telah menikah selama 60 tahun, dan mempunya 6 anak. Mereka semua sudah dewasa dan mempunyai keluarga sendiri-sendiri. Ibu ini, selama hidupnya menurut ceritanya sangat mencintai suaminya sejak mulai pertama mereka bersama, begitupun suaminya terhadap dia. Semasa muda mereka selalu bersama dalam melakukan hal apapun, entah itu pergi berlibur, makan, belanja dsb. Kebersamaan bagi mereka sangat penting dalam suatu perhubungan. Sang istri tidak pernah menyesali ataupun berkeluh kesah tentang kondisi keuangan mereka yang waktu itu bisa dibilang pas-pasan. Sang suami bekerja, dan sang istri mengurus keluarga.
Saat ini, si Ibu ini sudah sangat tua sekali, sakit-sakitan, dia didampingi suaminya setiap hari, setiap waktu. Mereka masih melakukan apapun bersama, entah itu memasak, membuat kue, belanja atau menghadiri undangan-undangan walaupun Ibu ini kondisinya secara badaniah sangat lemah. Suaminya mendorong kursi rodanya dan mengantar kemana saja yang dia inginkan. Karena tanpa kursi roda sangat mustahil untuk membawanya kemana-mana.
Pasien saya, yaitu si Ibu ini sering bercerita kepada saya, bahwa tidak ada suami yang patut dibanggakan seperti suaminya. Dia merasa sangat beruntung mendapatkan suami yang baik hati, menjaga dia dalam susah dan senang, dalam keadaan sakit dan sehat, suaminya selalu ada dimana dia ada. Sampai saat inipun suaminya rela bangun jam 2 malam demi untuk mengantarkan istrinya pergi ke toilet. Dan itu dilakukan atas dasar cinta dan saling membutuhkan kata mereka. Saya salut, bagaimana bisa hidup berumah tangga selama 60 tahun?
Apabila saya menjumpai datang ke rumah mereka, banyak hal yang saya pelajari dari mereka, tentang hidup, tentang hakikat membangun rumah tangga yang harmonis, bagaimana mencintai kekurangan pasangan dan lain sebagainya.
Saya membandingkan dengan kisah yang pertama, bahwasanya rasa ''Nerimo'' dan rasa mencintai dan memahami kekurangan masing-masing dan tak terhindar dari kesetiaan satu sama lain adalah kunci keberhasilan suatu mahligai rumah tangga yang hakiki. Kita akan merasakannya apabila kita tua nanti. Kita akan membutuhkan orang yang dekat dengan kita dimasa nanti. Siapa lagi kalau bukan suami atau istri kita. Anak-anak tidak bisa menjamin bisa memberikan apa yang kita butuhkan, karena mereka mempunyai tanggung jawab sendiri-sendiri. Dan ini memang sangat saya yakini. Kehidupan ini memang kadang berawal dengan kepahitan, ini untuk menguji sejauh mana kita bertahan untuk menuju keberhasilan. Namun kadang-kadang ada manusia yang tak mau memikirkan hal-hal yang akan terjadi nanti. Coba saja untuk membayangkan contoh yang satu ini: Apabila tiba-tiba terjadi kecelakaan pada diri kita, dan kemudian kita menjadi cacat dan tidak lagi berguna untuk meneruskan hidup seperti yang kita impikan, siapakah yang rela merawat dan menemani kita? Saya yakin pastilah pasangan kita. Seperti pasien saya ini, dia merasa bahagia walaupun kondisi badannya tidak lagi seperti dulu. Dia bahagia karena suaminya sangat mencintainya, bukan hanya mencintai kelebihan istrinya semasa dia muda dulu, akan tetapi juga mencintai kekurangan yang sekarang ada padanya. Yah...kadang-kadang kita perlu belajar dari orang yang lebih tua dari kita, yang sudah mengalami kehidupan lebih lama dari kita, karena seperti pepatah yang mengatakan, bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik dan bijaksana...
No comments:
Post a Comment